Kebanyakan bagi sebagian wanita, teman, rekan di tempat kerja, usia 1 tahun pernikahan bukanlah tahun 'precious moment' bagi pasangan suami istri. Tapi bagi kebanyakan pengantin diluaran sana (terutama bagi saya pribadi), tahun pertama pernikahan menjadi tahun yang membuat saya sedikit 'gila'. Gila bukan dalam artian kelainan jiwa, tapi 'gila' dengan pertanyaan 'kapan hamil / kapan ngasih cucu' yang terus-terusan saja mampir di telinga saya hampir setiap hari, setiap saat.
Ada dimana hari-hari yang saya lewati sepulang saya dari kantor dengan perasaan hati penuh dengan tangisan, rasa kecewa dan marah. Tidak! Saya sama sekali tidak marah dengan Tuhan, tidak marah dengan suami saya, tapi marah dengan orang-orang yang tidak mengerti dengan perasaan orang lain. Perasaan seorang wanita yang baru saja berumah tangga dan belum dikaruniai seorang anak.
Sampai-sampai pernah secara diam-diam saya melakukan tes kesehatan reproduksi, hingga tes laboratorium bermacam-macam (termasuk paket tes tokso, rubella, CMV yang harganya akan seketika membuat gaji saya hampir 1 bulan habis ludes dalam 1 kali gesekan debit card). Dan itu semua awalnya saya lakukan diam-diam tanpa sepengetahuan suami. Saya tidak mau menambah pikiran suami saya saat itu, karena saya amat sangat mengerti situasi suami saya yang kala itu juga masih berusaha keras memberikan kehidupan dan penghidupan yang baik bagi istrinya ditambah pekerjaan dan perkuliahannya yang menyita dan mengambil waktu me time kami hingga saat ini dan setahun ke depan.
Hasil tes laboratorium sudah keluar dan langsung saya perlihatkan ke suami. Alhamdulillah hasilnya negatif. Walau dalam sejarahnya saya memang pecinta kucing, tapi hasil dari tes-tes tersebut negatif. Sepenuhnya kondisi organ reproduksi saya sehat, ditambah saya tidak pernah kesakitan atau merasakan sakit saat datang bulan, dan untuk periode haid saya pun terhitung sangat baik dan normal (periode 28-31 hari).
Tapi tetap saja, sudah sekian tahun ini saya selalu bertanya-tanya dalam hati, bila saya memang dalam keadaan sehat, tapi kenapa Tuhan tidak memberikan kami keturunan untuk menambah kebahagiaan rumah tangga kecil kami?
Buat saya, keturunan yang diberikan Tuhan pada kita itu bukanlah sebuah bentuk 'kepercayaan dari Tuhan". Kalau itu sebuah 'kepercayaan' maka kenapa anak sekolahan ingusan bisa mendapat keturunan dengan mudah (walau dengan jalan MBA? Alias cuman bikin dibalik semak-semak). Buat saya, saya percaya, keturunan diberikan oleh Tuhan bukan karena Tuhan percayakan untuk memberikannya pada kita, tapi itu adalah sebuah anugrah dan hadiah penuh berkah.
Sering kali saya merasa jealous dan sensitif dengan teman yang baru mengumumkan bahwa dirinya hamil (padahal baru 1-2 bulan setelah pernikahannya). Disamping saya turut senang, di sisi lainnya saya malah sedih kenapa orang lain mudah sekali untuk hamil? Sedangkan saya harus dengan ekstra kerja-keras, dari mulai menjalankan tips paling mudah yaitu menjaga pola makan, menghindari jenis-jenis makanan dan minuman yang pantang bagi ibu yang (ingin) hamil, mengkonsumsi vitamin yang sudah direkomendasikan oleh dokter spesialis Obgyn, rutin meminum jenis susu untuk program ibu hamil, dan semua itu sudah cukup menjebol dana belanja bulanan kami yang masih menata keuangan keluarga dengan jumlah yang tidak seberapa.
Ditambah lagi di lingkungan sekeliling saya yang dengan mudahnya bercerita (curhat) bahwa setelah menikah ia sengaja menunda untuk punya momongan dulu (karena lebih mementingkan karir, atau entah alasan lainnya). Ehh tahu-tahunya hamil juga dengan cepat.
Ada juga kisah beberapa teman tentang kehamilannya yang terjadi karena faktor “tidak sengaja”, tapi ketika saya tanya, jawabannya malah, “Sebenarnya gue ngga pengen hamil dulu, Lan.”
WHATTTT!!! Mereka berbicara seperti itu. Padahal masih banyak para istri seperti saya yang ingin sekali memiliki momongan, dan mereka tidak mengerti dengan kondisi orang-orang seperti saya.
WHATTTT!!! Mereka berbicara seperti itu. Padahal masih banyak para istri seperti saya yang ingin sekali memiliki momongan, dan mereka tidak mengerti dengan kondisi orang-orang seperti saya.
Belum lagi yang paling membuat saya selalu ingin pulang cepat-cepat dari kantor. Dimana saya berkantor dari awal menikah di sebuah lokasi yang dimana tempat kantor tersebut pernah menjadi (bekas) lokasi kantor Ibu mertua saya dulu. Otomatis dong, kebayang, semua gerak-gerik saya, langkah saya, penampilan saya, bahkan cara saya berkomunikasi pun seakan selalu di CCTV-kan oleh para ibu-bapak (terutama teman-teman kerja) Ibu mertua. Bahkan hingga ditanya-tanya pertanyaan yang menyakitkan hati saya, seperti :
**huuffffff.....tidak perlu saya jabarkan semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Ibu-ibu yang usianya sudah tua, merasa sok bijak dan sok kaya, tapi pertanyaan mereka itu sukses membuat saya selalu menangis di angkot saat di perjalanan sepulang kerja / di motor di kala suami menjemput saya sepulang kerja.
Seketika saya jadi teringat kejadian 3 bulan sebelum pernikahan saya setahun lalu, dimana di suatu malam, ibunya (calon) suami tiba-tiba meneleponku pukul 10 malam dan memberi perintah : "Lana, ngelamar kerja lagi saja dari sekarang mumpung belum nikah. Ngelamarnya ke kantor Tante yang di Bandung ya, kasian kalau Mas yang resign... kan karirnya sudah bagus di Bandung".
- kapan saya hamil,
- saya dibanding-bandingkan dengan putri/ menantunya yang baru sekian bulan menikah sudah hamil,
- di-kepo-in tentang kehidupan keluarga mertua saya,
- di-kepo-in pekerjaan dan latar belakang Orang tua kandung saya apa,
- dan paling keterlaluannya lagi ditanya-tanya tentang internal rumah tangga saya sendiri dengan suami! Sumpah! Menyakitkan sekali pertanyaannya dan amat tidak sopan. Mereka-mereka itu (beliau-beliau) adalah sekumpulan ibu-ibu karir yang seangkatan usia dengan ibu mertua. Tapi herannya beliau-beliau yang sudah lebih tua itu malah tidak paham tentang adab bertanya tentang rumah Tangga orang lain. Astagfirullah'aladzim 😣.
**huuffffff.....tidak perlu saya jabarkan semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Ibu-ibu yang usianya sudah tua, merasa sok bijak dan sok kaya, tapi pertanyaan mereka itu sukses membuat saya selalu menangis di angkot saat di perjalanan sepulang kerja / di motor di kala suami menjemput saya sepulang kerja.
Seketika saya jadi teringat kejadian 3 bulan sebelum pernikahan saya setahun lalu, dimana di suatu malam, ibunya (calon) suami tiba-tiba meneleponku pukul 10 malam dan memberi perintah : "Lana, ngelamar kerja lagi saja dari sekarang mumpung belum nikah. Ngelamarnya ke kantor Tante yang di Bandung ya, kasian kalau Mas yang resign... kan karirnya sudah bagus di Bandung".
Jujur, membuat keputusan resign adalah keputusan yang amat sangat sulit bagi saya saat itu. Bukan! Bukan karena saya lebih mencintai karir saya, tapi karena saya teringat bagaimana perjuangan berat saya untuk mendapatkan karir sesuai passion & hati dan merasa dihargai atas kemampuan diri saya sendiri.
Harga saya mendapatkan karir yang sedang saya jalani saat itu (dan membuat saya bahagia dari hati) berbanding lurus dengan perjuangan saya selama 7-8 tahun lamanya melewati kuliah+karir dengan rasa jungkir-balik, seperti saat menjadi suster dengan bekerja sistim shift, merasakan dimarah-marahi keluarga pasien dan Dokter, merasakan hal-hal yang tidak semua profesi merasakannya dengan gamblang dan membuat bulu saya bergidik ketakutan dengan sangat, tidak merasakan ber-lebaran serta liburan dengan keluarga, merasakan jatuh-bangunnya mencari pekerjaan dengan banyak sekali saya temui orang-orang sekelas Manajer tempat Perusahaan yang saya Lamar untuk kerja (contohnya perusahaan Bank Mandiri -- makanya sampe sekarang saya dendam kesumat, sampe-sampe nggak mau punya rekening di Bank tsb & udah berjanji sama diri sendiri nggak akan ngijinin kelak anak-keturunanku kerja di Bank itu) ahahaha...
Lanjut, dimana mereka (Manajer Bank tsb) tempat saya ikhtiar melamar kerja kala itu, menyepelekan Ssya alias 'memandang saya sebelah mata' hanya karena saya jebolan Sarjana Keperawatan (padahal hasil tes IQ, psikotes saya dan lain-lainnya diatas nilai standar perusahaan mereka).
Tapi mereka selalu men-judge bahwa saya tidak pantas bekerja secara profesional--hanya karena saya seorang S.Kep, jadi menurut mereka saya lebih layak berkarir sebatas 'pembantu' Dokter! (suster tok! Pantesnya di Rumah sakit saja kerjanya! Nggak bisa berkarir professional di kantoran).
Ya Allah, ya Rabb.
Rasanya sedih mengetahui, mendengar, bahkan melihat langsung orang-orang berkarir tinggi seperti mereka yang masih berpandangan sempit, memandang bahwa sarjana-sarjana lulusan Keperawatan hanyalah sekedar seorang suster, pembantu Dokter, dan ngggak bisa kerja kantoran.
Terutama ada 1 Perusahaan perbankan di Indonesia yang amat sangat membuat banyak anak muda seperti saya (kami) sakit hati. Hanya karena saya (kami) lulusan sarjana Keperawatan, mereka pihak Bank tsb menolak mentah-mentah dan tidak memberi kami kesempatan.
Semenjak saat itu.....dalam hati saya, saya amat muak dengan Bank tersebut.
Bank Mandiri. Amat sangat disayangkan, bank se-prestisius itu masih mengkotak-kotakan, merendahkan kemampuan seseorang hanya karena ia lulusan di bidang kesehatan, Agama, filsafat. Astagfirullah'aladzim.
Kalau memang Bapak-Ibu terhormat tidak mau ada karyawan Perusahaan Bapak-ibu yang background pendidikannya tersebut menjadi bagian Keluarga Bank Mandiri, nggak usahlah Pak, Ibu terhormat untuk merendahkan titel sarjana kami dan dicetak besar-besar, diucap dengan lantang oleh bibir-bibir anda saat berhadapan dengan kami-kami para sarjana kesehatan, filsafat, dan sebagainya.
Lanjut, dimana mereka (Manajer Bank tsb) tempat saya ikhtiar melamar kerja kala itu, menyepelekan Ssya alias '
Tapi mereka selalu men-judge bahwa saya tidak pantas bekerja secara profesional--hanya karena saya seorang S.Kep, jadi menurut mereka saya lebih layak berkarir sebatas 'pembantu' Dokter! (suster tok! Pantesnya di Rumah sakit saja kerjanya! Nggak bisa berkarir professional di kantoran).
Ya Allah, ya Rabb.
Rasanya sedih mengetahui, mendengar, bahkan melihat langsung orang-orang berkarir tinggi seperti mereka yang masih berpandangan sempit, memandang bahwa sarjana-sarjana lulusan Keperawatan hanyalah sekedar seorang suster, pembantu Dokter, dan ngggak bisa kerja kantoran.
Terutama ada 1 Perusahaan perbankan di Indonesia yang amat sangat membuat banyak anak muda seperti saya (kami) sakit hati. Hanya karena saya (kami) lulusan sarjana Keperawatan, mereka pihak Bank tsb menolak mentah-mentah dan tidak memberi kami kesempatan.
Semenjak saat itu.....dalam hati saya, saya amat muak dengan Bank tersebut.
Bank Mandiri. Amat sangat disayangkan, bank se-prestisius itu masih mengkotak-kotakan, merendahkan kemampuan seseorang hanya karena ia lulusan di bidang kesehatan, Agama, filsafat. Astagfirullah'aladzim.
Kalau memang Bapak-Ibu terhormat tidak mau ada karyawan Perusahaan Bapak-ibu yang background pendidikannya tersebut menjadi bagian Keluarga Bank Mandiri, nggak usahlah Pak, Ibu terhormat untuk merendahkan titel sarjana kami dan dicetak besar-besar, diucap dengan lantang oleh bibir-bibir anda saat berhadapan dengan kami-kami para sarjana kesehatan, filsafat, dan sebagainya.
Rasanya cukup sakit hati untuk selalu dipandang sebelah mata hanya karena di CV saya tertera "S.Kep--Sarjana Keperawatan" dimana lulusan seperti itu tidak pantas menjadi Wanita karir profesional dan mengejar mimpi besarnya.
Kembali ke kisah dan pengalaman saya menghadapi orang-orang yang lebih tua di tempat kerja, ada saja suara-suara dan kata-kata yang membuat saya merasa down. Apalagi saat bertemu dengan kerabat suami, Bapak-bapak & ibu-ibu di kantor yang sebenernya sama sekali tidak saya kenal, teman yang tidak terlalu kenal-kenal banget.... Mereka dengan entengnya berkata,
- “Kamu nga hamil-hamil, abisnya sibuk kerja terus sih ya.”
- “Sodara aku baru 1 bulan nikah udah langsung hamil loh.”
- “Ngga perlu cari uang cape-cape atuh neng, kan udah ada suami yang kerja.”
- “Kamu pake KB ya? Ngapain sih pake KB segala.” (sumpah, saya nga pake KB!)
- “Udah nikah berapa lama? Kok belum isi.”
Saat-saat seperti itu saya jadi sensitif sekali dan tersinggung.
Saya hanya (bisa) diam dan tersenyum saat kalimat pertanyaan itu selalu menyapa keseharian saya. Saya akan tetap berusaha memperoleh keturunan. Dan semoga usaha, doa serta penantian saya akan datang dengan indah suatu saat nanti. And now, I just do what makes me happy!
***
So, that's the story. I decided to write and blog about my journey, because I know there are so many out there who desperately want children and for some reason it just hasn't happened yet – YOU ARE NOT ALONE! I believe God moves in mysterious ways. Never give up, never lose hope.. Always. Thank you to all of you who still support and follow my journey and pray for us!
2 Comments
i feel you. i feel you banget mba.. suka sedih kalo diceritain mah ya :'). semoga kita dan wanita2 di luar sana yg mendambakan momongan diberikan kesabaran yg extra dan segera diberikan keturunan. :)
ReplyDeleteAminnnnn. Iya Mbak, sami-sami. Saling mendoakan yang terbaik untuk kita dan para calon ibu diluaran sana yang sudah sangat menginginkan momongan di tengah2 keluarga kecilnya. Semoga kebahagiaan itu sudah dekat untuk kita semua :)
DeleteHi there, thanks so much for taking the time to comment.
If you have a question, I will respond as soon as I can.
Dont be afraid to shoot me an email! If you have a blog, I will pop on by :)